MENYELAMATKAN BAHASA KEI (VEVEU EVAV)
DARI KEPUNAHAN
Ikatan Pemuda Watdek (IPW Center)/ ghil Jaban
Seiring perkembangan teknologi dan
zaman penggunaan Bahasa daerah atau veveu evav sudah sangat minim bahkan tidak
ada sama sekali di pergaulan keseharian masyarakat evav (Kei) khususnya para
Pemuda dan Pemuda serta remaja. Loyalitas bahasa penutur bahasa daerah terhadap
bahasanya mengalami penurunan, terutama pada ranah keluarga. Padahal, dari
keluargalah, terutama, anak memperoleh bahasa itu. Kondisi ini perlu diatasi.
Untuk mengatasinya, perlu dilakukan upaya melalui pengajaran. Alternatif
pertama, terutama dari TK sampai dengan SD, SMP dan SMA, bahasa daerah perlu
dijadikan bahasa pengantar pembelajaran. Di samping itu, sebagai alternatif
kedua, di dalam pengajaran bahasa daerah itu sendiri, perlu diterapkan
pendekatan komunikatif. Melalui salah satu atau kedua cara itu, akan tercipta
lingkungan baru penggunaan bahasa daerah sebagai pelengkap atau pengganti
lingkungan penggunaan bahasa daerah pada ranah keluarga. Lingkungan baru inilah
yang akan menciptakan input untuk anak maupun mendorong terciptanya out put
dari anak yang keduanya diperlukan bagi terjadinya pemerolehan bahasa daerah.
Hanya saja, untuk melakukan upaya pertama, bahasa daerah perlu dikembangkan
lebih lanjut; sementara, untuk melakukan upaya kedua, fokus pengajaran bahasa
daerah perlu dibatasi, di samping perlunya peningkatan mutu guru bahasa daerah
yang telah ada dan pengadaan guru Bahasa daerah yang baru melalui pendidikan formal.
Kata-kata kunci:bahasa daerah, pengajaran, bahasa pengantar, pendekatan
komunikatif
Ketika dua atau lebih bahasa bersanding dalam pemakaiannya
di masyarakat, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, kedua bahasa
itu hidup berdampingan secara berkeseimbangan dan memiliki kesetaraan. Kedua,
salah satu bahasa menjadi lebih dominan, menjadi bahasa mayoritas, dan menjadi
lebih berprestise, sementara yang lain berkondisi serba sebaliknya, bahkan
terancam menuju kepunahannya. kemungkinan kedua menjadi kenyataan di Indonesia
dalam kaitan dengan bersandingnya Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah. Kemungkinan akan
punahnya suatu bahasa dicemaskan oleh banyak pihak. Berangkat dari keprihatinan
akan matinya banyak bahasa, UNESCO (dalam Purwo, 2000) mencanangkan 21 Februari
sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional pada suatu konferensi bulan November 1999
dan mulai merayakannya sejak tahun 2000. Ada alasan mendasar mengapa kepunahan
suatu bahasa sangat dikhawatirkan. Bahasa memiliki jalinan yang sangat erat
dengan budaya sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan Karena begitu eratnya jalinan antara bahasa
dan budaya,) mengatakan, tanpa bahasa, budaya kita pun akan MATI. Hal ini
bisa terjadi karena, sebagaimana dikatakan oleh Fishman (1996), bahasa adalah
penyangga budaya; sebagian besar budaya terkandung di dalam bahasa dan
diekspresikan melalui bahasa, bukan melalui cara lain. Ketika kita berbicara
tentang bahasa, sebagian besar yang kita bicarakan adalah budaya. Untuk
menghambat atau mencegah laju kepunahan bahasa-bahasa daerah di
Indonesia, berbagai upaya mempertahanan dilakukan, termasuk melalui
lembaga pendidikan.
Pertanyaan yang muncul, kemudian, adalah dapatkah
bahasa-daerah diselamatkan dari kepunahannya melalui pengajaran? Menurut SAYA,
jawabannya adalah “dapat”. Untuk membuktikan hal itu, akan dilakukan dengan :
(1) Menciptakan lingkungan keluarga dengan menggunakan bahasa
evav ,
(2) Melalui pengajaran bahasa daerah evav di Sekolah-sekolah
dari SD, SMP, SMA
(3) Membiasakan diri menggunakan Bahasa Daerah (Veveu Evav)
dalam pergaulan keseharian di lingkungan
Ohoi/Kampung.
Dalam
pergaulan keseharian. Dewasa ini ada sekurang-kurangnya tiga bahasa yang mereka
kenal dan/atau mereka pakai, yaitu: bahasa asing, khususnya bahasa Inggris,
bahasa Indonesia, dan bahasa daerah. Bahasa Inggris umumnya dikenal melalui
lembaga pendidikan, formal atau nonformal. Melalui pendidikan formal, Bahasa
Inggris, secara umum mulai diperkenalkan (diajarkan) sejak jenjang SLTP. Namun,
sekarang ini muncul fenomena bahasa Inggris mulai diperkenalkan di jenjang
sekolah dasar, bahkan di taman kanak-kanak. Melalui pendidikan nonformal,
bahasa Inggris diperkenalkan di berbagai lembaga kursus bahasa. Selanjutnya,
bahasa yang telah mereka kenal itu mereka gunakan untuk berbagai keperluan. Ada
yang menggunakan bahasa itu untuk kepentingan pendidikan. Namun, ada juga yang
menggunakan bahasa itu untuk kepentingan berusaha, khususnya di bidang
pariwisata yang menjadi salah satu bidang andalan beberapa daerah di Indonesia
yang kaya akan daerah tujuan wisata.
Bahasa Indonesia diperkenalkan dan digunakan di semua
provinsi di Indonesia terutama sebagai akibat dari provinsi-provinsi itu
merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagaimana
diketahui, bagi NKRI, bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan, yakni: sebagai bahasa
nasional dan sebagai bahasa negara . Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
memiliki sejumlah fungsi. Pertama, sebagai bahasa resmi kenegaraan. Dalam
hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala
upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun dalam
bentuk tulisan. Semua dokumen dan keputusan, serta surat-menyurat yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya ditulis d idalam Bahasa Indonesia.
Kedua, sebagai bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan. Dalam
hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi
antara pemerintah dan masyarakat. Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai alat
perhubungan antarderah, antarsuku, dan di dalam masyarakat yang berlatar
belakang bahasaa dan budaya yang sama. Ketiga, sebagai bahasa pengantar resmi
di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa
Indonesia digunakan di dalam pembelajaran di taman kanak-kanak, di sekolah
dasar, di sekolah lanjutan tingkat pertama, di sekolah menengah, dan di
perguruan tinggi. Keempat, sebagai bahasa resmi di dalam pembangunan kebudayaan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.Sementara itu, bahasa daerah diidealkan memiliki sejumlah
fungsi juga. Fungsi-fungsi itu adalah:
(1) alat komunikasi intraetnis,
(2) sarana menunjukkan keakraban,
(3) sarana menunjukkan identitas daerah dan kebanggaan
daerah.
Dengan fungsi-fungsi itu, diharapkan bahasa daerah dipakai
secara murni dalam ranah keluarga, ketetanggaan dan kekariban (antar anggota
etnis yang sama), ranah adat,dan ranah agama.Namun, kenyataan yang ada ialah
pemakaian bahasa daerah telah terko ntaminasi oleh pemakaian unsur-unsur bahasa
Indonesia dan mengalami pergeseran. Hal semacam ini terungkap, antara
lain, melalui beberapa pertemuan dan wawancara yang Penulis lakukan
dengan beberapa teman, sahabat baik itu masyarakat maupun pemuda-pemudi serta
remaja yang ada di Kabupaten Maluku Tenggara maupun Kota tual. Dari data yang
saya dapat tentang bagaimana penggunaan Bahasa Kei (Veveu Evav). Penggunaan bahasa pada tiga ranah, yakni:
ranah keluarga, ranah adat, dan ranah agama, dengan menggunakan kuesioner,
observasi partisipan, dan wawancara, pada masing-masing satu desa dan di dua
(2) Daerah ini yaitu: Yaitu Kota Tual dand Kabupaten Maluku Tenggara. Ada 50
responden dari tiga kelompok umur, yaitu: anak-anak (15-20), dewasa (21-60),
dan orang tua (61 tahun ke atas), yang tersebar secara merata di di 6 kecamatan
di Kabupaten Maluku Tenggara Yakni Kecamatan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil
Timur, Kecamatan Kei Kecil Timur Selatan, Kecamatan Kei Kecil Timurd Barat,
Kecamatan Hoat Sorbay, Kecamatan Manyeuw dan 2 Kecamatan di Kota Tual yakni :
Kecamatan Dullah Selatan dan Kecamatan Dullah Utara.
Dari data itu sejumlah peristiwa tutur yang diobservasi,
dan sejumlah informan diwawancarai. Semua data ini, kemudian, dianalisis secara
induktif. Hasilnya adalah seperti berikut ini. Pada ranah keluarga, yang
mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Kei secara murni adalah lima responden
dari kelompok anak-anak, dua di pedesaan dan tiga di perkotaan, lima
belas responden dari kelompok dewasa, enam di pedesaan dan sembilan di
perkotaan, sembilan responden dari kelompok orang tua, empat di pedesaan dan
lima di perkotaan. Jadi, ada 29 responden (30,21%) yang tidak lagi menggunakan
bahasa Kei secara murni, dari 96 responden dalam penelitian ini. Fenomena
ketidakmurnian penggunaan bahasa Kei dalam ranah keluarga yang terungkap
melalui jawaban atas pertanyan-pertanyan dalam kuesioner mendapat pembenaran
dan penguatan dari hasil observasi pada 11 Kecamatan tadi. Pembenaran yang
lebih mencemaskan diperoleh dari Hampir 70 % Masyarakat yang tinggal di Kota .
Di sana diungkapkan, “Keluarga-keluarga di perkotaan,
termasuk di kawasan desa di pinggir kota, sehari-hari sangat kentara lebih suka
memilih berbahasa Indonesia dengan anak-anak mereka, entah keluarga itu dari
lapisan ekonomi dan pendidikan kelas atas, menengah, atau bawah.” Hal yang sama
terjadi pula di lingkungan penulis yang merupakan kompleks Ohoi Watdek
Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tengggara. Pada ranah agama, yang mengaku
tidak lagi menggunakan bahasa Kei (veveu evav) secara murni adalah tiga
responden dari kelompok anak-anak, ketiganya di pedesaan, lima responden dari
kelompok dewasa, dua di pedesaan dan tiga di perkotaan, satu responden dari
kelompok orang tua di perkotaan. Jadi, ada sembilan responden (9,38%) dari 96
responden yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Kei (veveu evav) secara murni.
Fenomena pergeseran yang menimpa Bahasa Kei (veveu evav)
saat ini sangatlah memprihatinkan penulis Dari temuan yang telah disebutkan di
depan, yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya pergeseran
penggunaan bahasa daerah pada ranah keluarga. Kekhawatiran itu muncul
karena lingkungan keluarga merupakan lingkungan bahasa informal paling utama,
tempat semestinya anak pertama kali dan dalam waktu yang paling lama memperoleh
bahasa daerah. Di dalam keluargalah bisa terjadi transmisi bahasa lintas
generasi yang berguna bagi pemertahanan bahasa daerah. Jika pergeseran
itu terus-menerus terjadi, ke depan, penggunaan bahasa daerah di dalam keluarga
semakin sulit untuk diharapkan menjadi penopang lestarinya bahasa daerah. Oleh
karena itu, perlu dipikirkan cara lain untuk menciptakan lingkungan bahasa
untuk menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahannya. Cara itu adalah :
(1) Menciptakan
lingkungan keluarga dengan menggunakan bahasa evav ,
(2) Melalui
pengajaran bahasa daerah evav di Sekolah-sekolah dari SD, SMP, SMA
(3) Membiasakan diri menggunakan Bahasa Daerah (Veveu Evav)
sebagai Bahasa pengantar dalam
pergaulan keseharian di lingkungan Ohoi/Kampung.
Demikian sedikti dari banyak persoalan yang bisa Penulis
sampaikan, Saran serta Kritik dan masukan yang positif sangat di harapkan dari
semua kalangan/elemen Masyarakat yang ada di ke dua Wilayah ini Baik itu di Kota
Tual maupun Kabupaten MalukuTenggara, sehingga diharapkan partisipasi dari kita
semua dalam rangka tetap menjaga kelestarian Bahasa Kei (veveu evav) menjadi
kebanggaan kita sebagai yanat evav (anak Kei)..Wassalamu alaikum Wr. Wb..Tabe
Hormat ntal Im Besa…
Komentar
Posting Komentar